Sosok Pemimpin Idaman

•September 22, 2008 • 5 Comments
Kepala Sekolah yang selalu di hati....

Kepala Sekolah yang selalu di hati....

Kira-kira 8 bulan lagi bangsa Indonesia akan menghadapi pemilihan pemimpin baru…

Kita, rakyat Indonesia, memimpikan sosok pemimpin yang bisa membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Termasuk kami, para alumni SMU Taruna Bumi Khatulistiwa Pontianak. Dalam forum komunikasi kami- berupa mailing list- kami mendiskusikan sosok pemimpin yang bisa memenuhi harapan rakyat jelata Indonesia. Maka kemudian tercetuslah berbagai kriteria yang wajib dipenuhi oleh calon pemimpin kita, di antaranya : pintar (smart), jujur, rendah hati, berwibawa, dan lain-lain. Yang tampaknya sangat sulit ditemukan pada berbagai sosok yang selama ini berkoar-koar kampanye di media massa.

Untuk lebih mengkongkretkan kriteria yang dimaksud, beberapa teman memberikan sosok pemimpin yang bisa dijadikan contoh, di antaranya adalah presiden Iran, Mahmoud Ahmadimejad.

Saya sendiri termasuk pengagum ahmadimejad, namun ternyata tidak usah jauh-jauh ke negeri Iran untuk mencari sosok pemimpin idaman itu. Kemarin, ketika membuka-buka album foto, saya terhenyak ketika melihat sebuah foto yang tersimpan indah dalam album foto saya. foto kepala sekolah kami tercinta, Bpk. Abdul Karim Alm. Foto ini mengingatkan saya pada sosok seorang pemimpin ideal, yang dengan segala kepribadiannya memimpin sekolah kami. Pintar, rajin, jujur, bijaksana, berwibawa, disiplin, rendah hati, dan seabreg perilaku terpuji lainnya yang diperlukan seorang pemimpin. Saya ingat sekali, kami siswa SMU TBK tidak tahu bahwa mobil dinas sekolah yang selama ini selalu kami manfaatkan setiap hari untuk bepergian (ke puskesmas, dinas luar, dan berbagai keperluan lain) ternyata adalah fasilitas mobil dinas pribadi untuk beliau, bukan untuk digunakan oleh siswa. itu baru kami ketahui setelah beliau digantikan oleh kepala sekolah baru.

Semua kekaguman saya terhadap beliau, mungkin hanya pendapat pribadi yang muncul dari kerinduan saya pada pribadi beliau. Tapi, saya mengundang teman-teman alumni (khususnya angkatan 1 dan 2 )untuk dapat berbagi pengalamannya, atau berbagi kenangan tentang Pak Karim. Mudah-mudahan cerita-cerita kita di blog ini bisa bermanfaat buat orang lain, atau bahkan bisa menjadi insprirasi buat siapapun yang ingin menjadi “presiden” di organisasi apapun yang dipimpinnya.

Ira @96080

Bank Kaum Miskin

•August 30, 2008 • 7 Comments

Salah satu tagline-nya kampanye MDGs (Millennium Development Goals—Tujuan Pembangunan Millenium yang point satunya adalah End Poverty at 2015) di seluruh dunia adalah (diinterpretasikan dalam bahasa Indonesia) STOP Pemiskinan, Kata pemiskinan ini mengandung makna bahwa miskin/kemiskinan adalah kondisi yang diciptakan. Pertanyaan selanjutnya? Siapa yang menciptakan?

Kemiskinan bolehlah didekatkan kepada term ekonomi karena alat ukur dan realitasnya juga selalu menghubungkan antara kemiskinan dan kemampuan ekonomi seseorang (Bank Dunia mendefinisikan orang miskin adalah orang yang penghasilan seharinya tidak sampai USD 1), kelompok dan yang lebih besar suatu negara. Dengan demikian kalau kita percaya bahwa kondisi kemiskinan adalah sesuatu yang diciptakan, maka “pencipta” kemiskinan mestilah berhubungan dengan penciptaan kekuatan ekonomi kuat-lemah.

Yang kuat jadi kaya dan akan semakin kaya sementara yang miskin akan selalu miskin bahkan bisa bertambah miskin, karena sistem ekonomi yang memberikan privilege lebih kepada kaum kaya untuk menggunakan semua fasilitas keuangan sementara kaum miskin selalu dianggap sebagai pihak yang tidak layak untuk mengakses fasilitas keuangan yang ada.

Well kemiskinan adalah realitas, bukan ilusi. Sesuatu yang bisa kita jumpai setiap saat (apalagi di Indonesia sedari dulu). Hal yang sama dirasakan Muhammad Yunus (asli Bangladesh), PhD lulusan Amerika yang menjadi Dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Chittagong Bangladesh. Tahun 1974, sebagai dekan dan dosen, Yunus mengajarkan ”Ilmu Ekonomi” sebagai mesin ajaib yang bisa menghadirkan kesejahteraan bagi siapa saja (Wealth Of Nations yang diselewengkan). Rumusnya banyak, njelimet (kalau baca Confession of an Economic Hitman John Perkins—rumus yang njelimet sengaja diciptakan biar orang malas menganalisa dan membuktikan kebenarannya. Kritik terhadap Ilmu Ekonomi juga dilakukan oleh Paul Omerod lewat dwilogi buku The Death of Economics).

Tapi rumus yang njelimet itu bagi Yunus jadi tidak berlaku ketika dia menjumpai Kemiskinan akut yang terjadi pada masyarakat desa Jobra di sekitar kampusnya. Observasi singkatnya mendapati seorang pengrajin anyaman bambu yang hidup dalam lingkaran kemiskinan dan memiskinkan. Bagaimana tidak, (simulasi aja) setiap hari pengrajin (perempuan) membeli dengan cara meminjam sejumlah bambu seharga 3 Taka (mata uang Bangladesh) ke pengumpul. Di akhir harinya, barang kerajinan dijual ke pengumpul seharga 5 Taka. Dengan penghasilan bersih 2 Taka per hari si pengrajin harus menghidupi keluarganya yang sudah dalam kondisi sangat miskin. Note: USD 1 = 68,5 Taka (29 Aug 2008).

Yunus mendapati bahwa orang miskin bukannya tidak berdaya/mampu untuk melakukan sesuatu. Mereka hanya terjerat dalam kondisi yang menempatkan mereka dalam kondisi miskin akut. Harus ada yang menolong orang-orang dalam posisi seperti ini. Seandainya mereka punya uang yang memungkinkan mereka untuk membeli bambu itu langsung kepada penjual pertama, dan seandainya mereka punya akses untuk menjual kerajinannya kepada pembeli pertama, maka ceritanya pasti akan lain. Masalahnya, mereka sama sekali tidak punya uang itu. Saking terenyuh-nya melihat kondisi seperti ini, dia meminta kepada Mahasiswanya untuk melakukan survey, berapa banyak orang yang menghadapi nasib yang serupa di Desa Jobra itu, dan berapa kebutuhan mereka untuk lepas dari jerat pengumpul sekaligus rentenir itu. Dari beberapa pengrajin yang ditemui, Yunus mengkalkulasikan mereka hanya butuh uang USD 27 untuk lepas dari pengumpul/rentenir. Hanya USD 27, demikian Yunus bergumam dalam hati (sedih dan marah).

Sejak saat itu Yunus meninggalkan jauh-jauh teori ekonomi yang selalu diajarkannya di ruang kelas. Lengan bajunya disingsingkan tinggi-tinggi untuk terjun langsung mengentaskan persoalan kemiskinan dan kelaparan yang secara riil mendera masyarakat di sekelilingnya dan di Bangladeh pada umumnya.

Namun, jalan yang ditempuh Yunus tentu saja tidak mudah. Untuk merealisasikan perjuangannya dibutuhkan dana kolektif yang tidak sedikit. Upaya mencari pendanaan bagi orang miskin ke bank selalu dicemooh (Meskipun kemudian disetujui dengan jaminan pribadi). Bank selalu beranggapan bahwa orang miskin sangat tidak layak diberikan pinjaman karena pasti tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut. Faktanya berbicara lain bahwa 98% pinjaman orang miskin selalu dikembalikan on time!!! Mengapa demikian? Bagi Yunus, pilihan terbaik bagi orang miskin adalah mengembalikan pinjaman tersebut. Lah dengan rentenir yang jelas-jelas mencekik mereka mampu mengembalikannya. Bagi orang miskin, pinjaman tersebut adalah nyawa mereka, dan tidak akan mereka sia-siakan kesempatan yang begitu baik dengan berulah tidak mengembalikan pinjaman.

Teori pakar umumnya, orang menjadi miskin adalah karena mereka tidak punya keterampilan. Jadi untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan harus diberikan pelatihan keterampilan. Sesuatu yang bagi Yunus adalah sebuah pemborosan. Orang miskin hanya butuh kredit/pinjaman yang manusiawi. Mereka sudah punya keterampilan dalam diri mereka masing-masing dan itu dibuktikan dari kemampuan mereka bertahan hidup dalam kemiskinan yang sudah sedemikian lama mendera.

Tantangan lain bagi Yunus adalah budaya di Bangladesh yang menempatkan perempuan dalam struktur paling rendah dan menyakitkan. Yang paling menderita dalam sebuah keluarga miskin adalah Ibu. Kalau ada yang harus menderita kelaparan dalam keluarga miskin itu adalah Ibu. Bapak dan anak-anak harus makan duluan. Hal ini yang kemudian mendasari pendekatan pemberian kredit dititikberatkan pada kaum perempuan. Ada alasan lain juga yang mendasari hal itu dan terbukti, yakni bahwa kaum laki-laki pada umumnya kalau mendapatkan penghasilan selalu berfikir untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri terlebih dahulu, sementara kaum perempuan/Ibu selalu menggunakan penghasilannya untuk hal yang prioritas, misalnya keperluan keluarga, anak dan rumah. Saya sendiri juga baru sadar bahwa selalu ada sifat-sifat seperti itu dalam diri setiap laki-laki.

Apa yang ditorehkan Yunus dalam upaya memerangi kemiskinan di Negaranya dengan membangun Grameen Bank (Grameen = Pedesaan/Desa), adalah upaya yang sensasional yang didapat dari perjuangan yang sangat panjang dan luar biasa. Pendekatannya yang langsung berhubungan dengan objek (dia menyebut metodenya metode Mata Cacing) adalah sebuah upaya nyata yang berbeda dengan pendekatan pakar ekonomi makro pada umumnya, yang suka membahas pengentasan kemiskinan dengan melihat dan menghitung angka-angka statistik. Kalaupun perlu melihat maka dilihat dengan teropong di kejauhan. Sungguh jauh panggang dari api.

Setelah 20 tahun lebih, Grameen telah menjadi lembaga yang sangat mandiri. Para peminjam Grameen menguasai 93 persen total ekuitas bank, hanya 7 persen dimiliki pemerintah Bangladesh. Jumlah peminjam mencapai 2,6 juta orang yang 95 persennya adalah perempuan. Kredit yang dikucurkan sejak berdiri mencapai 3,9 miliar $ dan sebesar 3,6 miliar $ telah dibayar kembali dengan tingkat pengembalian sebesar 98%. Grameen Bank telah berhasil meningkatkan kesejahteraan dan terutama kemandirian para peminjamnya yang awalnya sangat miskin hingga dapat mengakses pendidikan, rumah dan sarana sanitasi. Sejak 1995 Grameen memutuskan untuk tidak lagi meminta pendanaan donor. Cicilan terakhir pendanaan donor dibayarkan tahun 1998. Grameen Bank juga telah ditiru di berbagai negara miskin maupun maju (bahkan di Amerika!!!)

Apa yang akan Anda dapatkan dari buku ini adalah sebuah kisah yang luar biasa dan mengharu biru. Sebuah kisah seorang anak manusia yang bersungguh-sungguh melakukan pekerjaan besar dari lubuk hatinya yang terdalam. Yunus meninggalkan menara gadingnya di Universitas untuk berkubang lumpur kemiskinan akut yang mendera saudara sebangsa setanah airnya. Anda jangan khawatir buku ini akan membosankan. Buku ini dikisahkan dengan sangat indah layaknya sebuah karya sastra. Diksi dan plotnya berayun dengan indah.
Yunus dan Grameen memang pantas mendapatkan Hadiah Nobel, bahkan lebih.

Saya membayangkan entah berapa juta orang miskin yang telah dibantu Yunus dan Grameen Bank-nya. Seandainya sekian juta orang itu menyisihkan setiap doanya untuk Muhammad Yunus ini, maka anda bisa membayangkan ganjaran seperti apa yang akan diterima Yunus di kehidupan matinya/akhiratnya kelak?
Well Pak Yunus, you are very very deserved to get it…

dave skywalker TBK 95

http://www.davesywalkers.multiply.com